Langit sore terlihat mendung, namun tidak ada tanda-tanda akan turunnya hujan. Terlebih ini sudah minggu ketiga setelah sebuah berita mengatakan kalau Indonesia akan dilanda kemarau panjang. Indonesia bermakna seluruh provinsi akan merasakan panas yang luar biasa. Termasuk provinsi Jambi. Ini bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan, mengingat Indonesia termasuk ke dalam benua yang tropis.
Sudah pukul 4 sore, waktunya para pekerja kantoran mau pun pabrik berbondong-bondong pulang kerumah. Jalanan terlihat padat, beberapa mahasiswa terlihat keluar dari universitas menggunakan kendaraan pribadi milik mereka. Dari jendela mobil, seorang lelaki berusia 20 tahun asik mengamati jalan raya yang tidak begitu asing baginya.
“Aksa, kalau nanti sudah sampai dirumah jangan lupa salim sama tetangga,” suara wanita itu berasal dari kursi kemudi. Ia adalah ibunda Aksa. Biasa dipanggil Kanaia.
“Iya, bunda,”
jawab lelaki itu seadanya.
“Kamu masih sedih
perihal pengumuman kemarin ya?”
Aksa tidak
menjawab. Lelaki itu memilih untuk menundukkan kepalanya. Kanaia tahu persis
bagaimana sifat dan kepribadian putra sulungnya itu. Lelaki itu memiliki sifat
ekstrovert yang suka berbaur dan mencari teman baru. Ia juga adalah seseorang
yang rajin, ambisius, dan perfeksionis. Hal itu yang membuatnya menjadi
mahasiswa di salah satu universitas di Pulau Jawa. Namun tentu saja dibalik
kelebihan seseorang, pasti ada kekurangan yang menjadi paket lengkap.
Seharusnya Aksa
masih menikmati libur panjangnya di kamar kost miliknya. Namun karena rasa
sedihnya akibat gagal seleksi beasiswa, membuatnya memilih untuk pulang ke
kampung halaman. Ia ingin membuang perasaan sedih atas kegagalannya kemarin.
“Aksa, kita sudah
sampai,”
Aksa tersentak.
Dengan cekatan lelaki itu segera keluar dari mobil sembari membawa tas ransel
dan koper miliknya. Sedangkan Kanaia membawa beberapa oleh-oleh yang sempat
dibeli oleh putra sulungnya itu. Katanya untuk diberikan kepada
tetangga-tetangga mereka.
Berbicara perihal
tetangga, Kanaia dan keluarga kecilnya tinggal di sebuah desa yang bernama
Sungai Duren. Salah satu desa di Kabupaten Muaro Jambi. Kalau ditanya apakah
ada banyak kebun duriannya atau tidak, jawabannya adalah tidak. Mitos dari
mulut ke mulutlah yang mengatakan bahwasanya dibawah Sungai Batang Hari yang
mengalir deras di desa ini terdapat banyak kebun durian. Dan banyak orang yang
percaya hingga sekarang.
Karena tinggal di
pedesaan, tentunya Kanaia sebagai pemilik rumah akrab dengan tetangga-tetangga
yang ada disekeliling rumahnya. Mungkin akan sangat berbeda jika tinggal di
daerah perkotaan yang hanya terfokuskan pada kehidupan masing-masing. Karena
prinsip mereka yang hidup di desa adalah ketika kita membutuhkan seseorang,
yang akan terlebih dahulu menolong kita adalah tetangga. Rasa persatuan dan
ikatan mereka sangat kuat.
“Assalamualaikum,”
“Waalaikumsalam.
Loh nak Aksa sudah pulang ke desa?”
“Hehehe sudah
uwak. Ini Aksa bawa oleh-oleh untuk uwak dan keluarga,” Aksa memberi sekantong
paperbag sedang yang berisikan oleh-oleh.
Yang dipanggil
uwak tentunya tersenyum sumringah, merasa bersyukur karena lelaki itu tiba di
desa dengan selamat dan juga berterima kasih banyak atas oleh-oleh yang
diberikan.
“Kalau begitu Aksa
pulang dulu ya uwak,” lelaki itu menyalim tangan wanita dihadapannya dengan
sopan.
“Eh, uwak baru
ingat. Nanti malam dirumah Niko ada acara aqiqah. Aksa kalau tidak sibuk boleh
datang,”
Lelaki itu
mengangguk pelan, “Iya, uwak. Insyaallah nanti Aksa datang,”
Aksa pamit pergi.
Lelaki itu melanjutkan perjalanannya ke-3 rumah untuk menyapa sekaligus
mengantarkan oleh-oleh. Ia sama sekali tidak merasa letih, justru ia senang
karena bisa bertemu kembali dengan tetangga-tetangga yang ada di sekeliling
rumahnya.
“Terima kasih
banyak loh nak Aksa,”
“Sama-sama uwak.
Aksa pamit pulang dulu,”
“Jangan lupa nanti
malam kerumah Niko ya,”
Lelaki itu
mengangguk kemudian melanjutkan perjalanannya. Ia hanya berjalan kaki karena
jarak dari 1 rumah kerumah lain sangatlah dekat. Setibanya ia dirumah, sosok
lelaki yang lebih muda darinya sudah berdiri menghadang pintu utama. Namanya
Ancala. Ia adalah adik kedua sekaligus adik bungsu Aksa.
“Kamu rapi banget?
Terus kenapa bajunya merah?”
“Assalamualaikum
dulu bang,”
Aksa terkekeh,
“Assalamualaikum adik abang,”
Ancala berlari
memeluk abangnya itu, “Waalaikumsalam. Anca rindu banget sama abang!”
“Abang juga rindu
banget sama Anca,” Aksa membalas pelukan adiknya itu. Ia benar-benar rindu
dengan semua yang ada di rumah dan desa ini.
“Nah, jawab dong
pertanyaan abang. Kenapa bajunya merah gini?”
“Ini namanya
seragam, abang. Lihat deh dari atas sampai ke bawah merah semua. Nanti tinggal
pakai songkok,” jelas Ancala. Lelaki itu baru berusia 16 tahun, namun tengilnya
seperti mahasiswa.
“Memangnya Anca
mau kemana?” Aksa dan Ancala berjalan masuk kedalam rumah. Kedua insan itu
memutuskan untuk duduk di ruang tamu.
“Kerumah bang
Niko. Kan ada acara aqiqah malam ini. Abang ikut kan?”
“Harus pakai
seragam seperti itu?”
Ancala mengangguk.
“Iya. Kalau abang nanti pakai baju koko sama kain sarung aja. Kalau aku dan
rombongan rebano harus pakai seragam ini,”
Aksa terlihat
kebingungan. Rombongan rebano? Ia baru mendengar istilah seperti itu. Ia memang
tidak begitu paham akan organisasi apa saja yang ada di desa Sungai Duren.
Bahkan ia tidak mengikuti Karang Taruna karena terlalu sibuk belajar. Namun
Ancala sejak usia 14 tahun sudah berkecimpung di dunia Karang Taruna dan ikut
serta dalam beberapa acara yang digelar oleh Sungai Duren.
“Rombongan rebano?
Abang baru dengar, Nca,”
“Oh iya, Anca
kadang suka lupa kalau abang gak tahu soal ini,” katanya sembari tertawa kecil.
“Rebano itu masuk ke dalam seni musik, bang. Mainnya pake gendang, terus sambal
nyanyi,”
“Memangnya nyanyi
apa? Terus gendangnya diapain?”
“Nyanyi sholawat
nabi gitu, bang—Gendangnya dipukulin, ikut irama dari nyanyian,”
Aksa mengangguk
pelan. Lelaki itu sedikit penasaran tetapi ia berusaha mencerna semua
penjelasan dari Ancala.
“Nanti abang lihat
aja waktu dirumah bang Niko. Soalnya rombongan rebano nanti iringi acara aqiqah
adiknya bang Niko,”
Sekali lagi Aksa
kebingungan. “Oh, rombongan rebano juga bisa di acara aqiqah?”
“Memangnya abang
pikir ngapain ada rombongan rebano nanti? Justru kalau di acara aqiqah dan
syukuran harus ada rombongan rebano. Bahkan juga harus ada di acara pernikahan,”
Aksa mengangguk
lagi. Sepertinya ia mulai sangat penasaran. Dengan cepat, lelaki itu
meninggalkan Ancala tanpa kata. Ia bergegas masuk ke dalam kamar mandi,
membersihkan diri, lalu mengganti pakaian yang sudah ia pakai seharian. Ia
ingin segera berangkat ke rumah Niko karena ingin melihat rombongan rebano yang
dikatakan oleh Ancala tadi.
Jarak rumah Aksa
ke rumah Niko tidak lah jauh. Kisaran 3 rumah saja. Maka dari itu Aksa dan
Ancala memutuskan untuk berjalan kaki saja. Selain dekat, jalan kaki juga lebih
sehat. Ketika sudah tiba di rumah Niko, Ancala harus bergabung dengan rombongan
rebanonya yang masih berada di luar rumah. Sedangkan Aksa memilih untuk masuk
ke dalam rumah yang sudah mulai ramai akan para penduduk desa Sungai Duren.
Rata-rata terdiri dari bapak-bapak dan juga ibu-ibu.
“Wah, ramai juga
ya,” gumam Aksa saat melihat ada sekitar 14 orang yang menggunakan seragam
berwarna merah. Tampaknya seragam itu berasal dari kain satin karena terlihat
licin.
Satu per satu dari
rombongan rebano membawa peralatan sendiri. Gendang berukuran sedang yang
terlihat sempurna di tangan mereka. Mereka tidak menyebutnya dengan kata
gendang melainkan rebano. Ancala berada dibarisan kedua, lelaki itu tampak
bersemangat dan sumringah ketika melihat Aksa yang tersenyum bahagia.
Pukulan demi
pukulan mulai sahut sahutan. Mereka mulai melantunkan sholawat nabi sembari
memukul rebano. Terlihat sosok pemilik rumah mulai menggendong bayi kecil yang
menggunakan pakaian adat Jambi. Seorang kakek yang tidak Aksa kenal mulai
mengambil gunting kecil dan memotong sedikit rambut dari bayi tersebut.
Syukurnya ia tidak menangis. Justru tertawa.
“Boleh saya rekam
acara aqiqah dan rombongan rebano gak, uwak?” tanya Aksa sopan.
“Oh, boleh banget.
Silahkan nak Aksa,”
Dengan sigap Aksa
mengeluarkan gawai miliknya. Ia membuka aplikasi kamera lalu menekan tombol merah
yang tandanya sudah siap untuk direkam. Lelaki itu mengarahkan kamera gawai
miliknya kearah rombongan rebano yang masih bernyanyi dan memukul rebano,
setelah itu ia arahkan ke pemilik rumah yang tidak lain adalah Ayah Niko yang
masih menggendong bayi kecil. Ia mengabadikan semua momen-momen di rumah Niko.
Bahkan ketika pembagian bendera tasyakuran dan aqiqah kepada anak-anak yang
heboh juga turut direkam oleh Aksa.
Hatinya terasa
lega. Ternyata begini rasanya berada ditengah masyarakat desa Sungai Duren.
Selama ini ia hanya aktif ketika berada di lingkungan sekolah dan universitas.
Sehingga tidak tahu jika ada adat dan tradisi di tanah kelahirannya ini.
Aksa membuka gawai
miliknya, tujuannya adalah melihat kembali video yang ia rekam. Namun terlintas
dipikirannya untuk mengetik sesuatu di laman internet. Matanya mendelik,
ternyata rombongan rebano yang dikatakan oleh Ancala masuk kedalam warisan
budaya takbenda Indonesia. Tetapi namanya bukanlah rebano melainkan Dzikir
Berdah Muaro Jambi. Aksa tak lagi heran. Mengingat seni musik ini merupakan
suatu hal yang indah, bahkan seharusnya dilestarikan.
“Aksa, kamu mau
coba pukul rebano?” Aksa menoleh kearah sumber suara. Disana ada Niko yang
berjalan kearahnya. Masih menggunakan seragam berwarna merah.
Niko adalah teman
kecilnya. Ketika lelaki itu menawarkan rebano kepadanya, ia merasa seperti
diberi kesempatan emas.
“Mau banget.
Tolong ajarkan ya,”
Niko tersenyum
lantas mengulurkan gendang rebano miliknya. Aksa menerima uluran tersebut.
tangannya sedikit gemetar namun bersemangat karena Niko mengajarkan bagaimana
caranya bermain rebano. Sedikit demi sedikit Aksa bisa memukul rebano tersebut.
Matanya berbinar cerah. Ia bahkan lupa dengan kesedihan yang membuatnya pulang
ke kampung halaman.
“Wah, kamu hebat
banget. Biasanya pemula butuh waktu untuk memukul rebano, tapi kamu enggak,”
seru Niko bangga. “Bi Kana, Aksa masuk rombongan rebano boleh gak?”
“Kalau Aksa mau,
bibi tentu kasih izin,” ucap Kanaia yang baru saja tiba dari dapur rumah Niko.
Aksa membungkam.
Ia sangat teringin mengikuti rombongan rebano. Namun di satu sisi ia bimbang
karena bulan depan ia akan kembali ke Pulau Jawa, mengingat liburan panjangnya
hanya tersisa 1 bulan lagi. Lelaki itu tampak berpikir keras. Mungkin menurut
orang lain ini hanyalah masalah kecil, namun bagi Aksa ini adalah masalah
besar. Karena ketika lelaki itu sudah berkecimpung di dunia barunya maka ia
pasti akan lupa dengan lingkungan sekitarnya. Contohnya saat ia memutuskan
untuk terus belajar.
“Bagaimana Aksa?
Kamu mau gabung dengan kami atau enggak?” tanya Niko.
“Gabung aja, bang.
Ini kesempatan emas buat menambah pengalaman,” tambah Ancala.
Benar yang
diucapkan oleh Ancala. Ini adalah sebuah kesempatan yang bisa saja tidak datang
2 kali. Selain menambah pengalaman, Aksa juga bisa ikut melestarikan budaya
Dzikir Berdah Muaro Jambi. Bahkan ia juga bisa menambah relasi dan meluaskan
lingkup pertemanan.
“Tentu aja aku mau
gabung,” ucap Aksa seraya menerima uluran tangan Niko.
Mereka berjabat
tangan, pertanda jika Aksa sudah menyepakati untuk ikut bergabung menjadi
anggota rombongan rebano. Nantinya Aksa hanya perlu membeli gendang baru
seperti milik Ancala dan lainnya. Untuk hal seragam akan diurus oleh Kanaia.
Aksa tersenyum
lega. Ia berterima kasih kepada dirinya sendiri yang memutuskan untuk pulang ke
Sungai Duren. Ia tidak menyalahkan keadaan yang membuatnya gagal dalam seleksi
beasiswa. Justru karena hal itu ia mendapatkan pengalaman baru dan juga ilmu
baru.
Note:
1.
Uwak :
Sebutan bibi/paman di desa Sungai Duren.
2.
Rombongan rebano :
Dzikir Berdah Muaro Jambi yang dilestarikan oleh desa Sungai Duren. Nyanyian
sholawat nabi yang diiringi dengan pukulan gendang redab atau biasa disebut
dengan rebano. Rombongan rebano biasa mengiringi acara khitanan, aqiqah, dan
pernikahan. Biasanya rombongan rebano latihan setiap 1 kali dalam seminggu.
3.
Rebano :
Gendang berukuran sedang